![]() |
Foto bersama usai kegiatan diskusi publik |
BANDA ACEH | Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Senin (10/12/2018), sekira jam 09.00 Wib sampai dengan 13.00 Wib, menggelar Forum Ilmiah berupa DISKUSI PUBLIK. Diskusi Publik kali ini bertema "Quo Vadis Lembaga Wali Nanggroe ?".
Diskusi Publik yang merupakan Serial "ALSA Legal Discussion" tersebut diselenggarakan secara bersama oleh Asian Law Student's Association (ALSA) Local Chapter Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Dalam forum ilmiah tersebut penyelenggara menghadirkan 6 (enam) Narasumber Kunci yaitu, Prof. DR. Husni, S.H., M.Hum (Guru Besar Hukum Tata Negara - HTN/ Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala), Azhari Cage, SIP (Ketua Komisi I DPRA), Zakaria Saman (Salah satu Tokoh Perdamaian Aceh/ Mantan Menteri Pertahanan GAM), Syarifah Rahmatillah, S.H (Direktur Mitra Sejati Perempuan Indonesia - MiSPI), Adli Abdullah, S.H., PhD (Sejarawan Aceh/Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala), serta Kurniawan S, S.H., LL.M sebagai Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala/Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala).
Direktur Asian Law Student's Association Local Chapter (ALSA LC) Fakuktas Hukum Univ. Syiah Kuala yaitu Fariz Ichwan dalam laporannya menyatakan, penyelenggara mengundang berbagai komponen masyarakat Aceh diantaranya, Para Tokoh Aceh, sejarawan, budayawan, aktifis serta pengamat sejarah maupun pemerintahan dan hukum, utusan OKP, dan juga utusan beberapa Ormas.
Lanjutnya, adapun peserta yang hadir dalam kegiatan ini dari beberapa tokoh Aceh seperti H. Karimun Usman. Selain itu, juga hadir Kol. Husein (Staf Ahli KODAM Iskandar Muda), AKBP Muwazil (Utusan POLDA ACEH), DR. M. Jaffar Husein, S.H., M.Hum (Asisten I Setda Aceh), Letkol. Wing (Wakil Komandan badan Intelijen Strategis - BAIS Wil. Aceh), Utusan Kepala Kantor Pertahanan (KANHAN) Wil. Aceh, Utusan Kanwil KEMENKUM DAN HAM Provinsi Aceh, Utusan Majelis Adat Aceh (MAA), utusan PKP2A IV LAN Provinsi Aceh, Utusan Ombudsman RI Perwakilan Aceh, LBH Banda Aceh, Utusan dari beberapa Fakultas baik di lingkungan Unsyiah maupun UINAr Raniry,
Utusan dari beberapa LSM yang beregerak di isu Adat dan pemerintahan, Para Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unsyiah, Utusan dari berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari lingkungan Unsyiah, UIN Ar Raniry, Unmuha, dan Abulyatama serta berbagai keterwailan lainnya.
Dalam Press Release yang dikirimkan, Kurniawan S, S.H., LL.M selaku Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala yang juga sebagai penyelenggara dalam kegiatan tersebut menyebutkan bahwa "Terselenggaranya Forum Ilmiah berupa DISKUSI PUBLIK yang diselenggarakan kali ini merupakan wujud dedikasi atas kepedulian Universitas Syiah Kuala sebagai JANTONG HATE RAKYAT ACEH melalui UKM ALSA LC FH Unsyiah dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala untuk hadir memberikan solusi terhadap setiap polemik kebijakan/hukum yang berkembang di Aceh.
Adapun, dalam Sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Unsyiah yang diwakili oleh Wakil Dekan I FH Unsyiah, DR. Azhari Yahya, S.H., MCL., MA mengatakan, bahwa kegiatan ini merupakan manifestasi Universitas Syiah Kuala melalui Fakultas Hukum dalam melaksanakan "Pengabdian" sebagai salah satu dari TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI selain sisi "Pendidikan" dan "Penelitian".
Azhari Yahya juga mengatakan, bahwa, "Diskusi Publik ini dibuat sebagai bagian kontribusi Universitas Syiah Kuala melalui Fakultas Hukum dalam upaya mengakhiri polemik terhadap eksistensi kelembagaan Wali Nanggroe yang berkembang selama ini sekaligus memberikan masukan konstruktif terhadap optimalisasi peran kelembagaan Wali Nanggroe di masa mendatang".
Salah satu tokoh perdamaian Aceh dan juga Mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka, yaitu Zakaria Saman atau yang dikenal dengan sebutan Apa Karya menyampaikan bahwa, "Perdamaian di Aceh yang akhiri dengan MoU dan ditindaklanjuti dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diperoleh dengan berbagai pengorbanan rakyat dan bangsa Aceh".
"Oleh karenanya, apa yang telah diberikan oleh Pemerintah (pusat) kepada Aceh saat ini haruslah kita selaku rakyat Aceh jaga secara bersama, karena merupakan warisan perjuangan bangsa Aceh".
Bahwa di dalam pelaksanaannya, kelembagaan Wali Nanggroe belum dapat melaksanakan peran dan kewenangannya secara optimal sebagaimana yang diharapkan, maka rakyat serta seluruh komponen masyarakat Aceh yang harus turut ambil bagian membantu dengan bentuk kontribusi yang beragam",
Lanjut Apa Karya. "Bek Bengeh ke Supir, moto ta thet.Tidak logis lah itu", tutup Apa Karya dengan senyuman khasnya.
Prof. DR. Husni, S.H., M.H (Guru Besar Hukum Tata Negara Univ. Syiah Kuala) mengatakan, bahwa "Secara yuridis, keberadaan Kelembagaan Wali Nanggroe di Aceh merupakan suatu keniscayaan". "Hal ini mengingat eksistensi Kelembagaan Wali Nanggroe merupakan perintah dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh", sebut Husni.
Husni melanjutkan bahwa "dalam UU tersebut terdapat Bab yang secara khusus mengatur berkenaan LEMBAGA WALI NANGGROE yaitu BAB XII".
"Dalam amatan saya, setidaknya terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur mengenai kelembagaan "Lembaga Wali Nanggroe" yaitu Pasal 96 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 97 UU No. 11 Tahun 2006", lanjut Husni.
Menurut Husni, secara yuridis normatif, Lembaga Wali Nanggroe memiliki peranan penting dan strategis sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 96 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006, yaitu merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina, dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya".
Mengingat keberadaan kelembagaan WN tersebut merupakan pengaturan asimetris bagi Aceh sebagai wujud kekhususan dan keistimewaan bagi Provinsi Aceh yang tidak dimiliki oleh provinsi lainnya di Indonesia, maka keberadaan lembaga Wali Nanggroe harus dipertahankan.
"Permasalahan bahwa ada ketidakoptimalan dalam pelaksanaan peran dan tanggungjawab WN sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe Jo Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga WN, maka di masa mendatang perlu menjadi catatan penting dalam upaya mendorong peran pemangku WN berikutnya yang lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan", lanjut Husni.
"Amatan saya, struktur kelembagaan Wali Nanggroe berdasarkan Qanun Aceh No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga WN sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh No. 9 Tahun 2013 terlalu kaya struktur namun miskin fungsi. Hal ini pula yang menjadi salah satu sebab mengapa peran dan kemanfaatan kelambagaan WN tersebut kurang dirasakan oleh masyarakat", tutup Husni.
Azhari Cage, SIP (Ketua Komisi I DPRA) mengatakan bahwa, "Lembaga WN merupakan amanat UU No. 11 Tahun 2006. Dengan demikian bermakna juga amanat MoU Helsinski. Untuk itu pihak yang mengatakan bahwa lembaga WN tidak diperlukan lagi di Aceh samahalnya mengatakan bahwa perdamaian tidak lagi diperlukan dan harus diakhiri di Aceh", tegas Azhari.
"Untuk itu siapapun yang mengatakan bahwa Lembaga WN tidak diperlukan lagi di Aceh dan karenanya harus dibubarkan, maka sama saja orang yang bersangkutan adalah anti perdamaian di Aceh.", tutup Azhari Cage.
Adapun Syarifah Rahmatillah, S.H selaku Direktur MiSPI Aceh dan juga salah satu tokoh perempuan Aceh menyebutkan bahwa "Keberadaan Kelembagaan WN tetap harus dipertahankan karena merupakan salah satu kekhusuaan bagi Aceh". "Namun demikian, hemat saya Pemangku Lembaga Wali Nanggroe kali ini belum mampu berbuat banyak dalam melaksanakan peran dan kewenangannya", sebut Syarifah.
"Selain itu, dari aspek alokasi anggaran, hemat saya alokasi anggaran yang diberikan kepada kepada Kelembagan WN termasuk kategori berlebihan", tutup Syarifah Rahmatillah.
Sementara Adli Abdullah, S.H., PhD, mengatakan bahwa "Dalam sejarah, kehadiran wali di Aceh karena suasana kegentingan seperti raja perempuan atau masih anak-anak, atau raja meninggal maka muncul wali raja atau kepala negara sementara pengganti raja".
"Wali Nanggroe yang ada sekarang di Aceh kehadirannya lebih disebabkan karena “konsensus politik” yang terdapat dalam MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Mardeka pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, kemudian diturunkan dalam UU No 11 Tahun 2006 dan dijabarkan dalam Qanun Aceh No 8 Tahun 2018 yo No 9 tahun 2013", tegas Adli.
“konsensus politik” ini menjadi sangat kuat setelah diperintahkan dalam sistim perundang-undangan Republik Indonesia jadi secara legal formal kehadiran wali nanggroe wajib ada", Lanjut Adli.
"Terjadinya pro dan kontra tentang lembaga ini selama ini mungkin disebabkan kehadiran Wali Nanggroe belum terasa kiprahnya sebagai lembaga pemersatu masyarakat Aceh dan pelestarian kehidupan adat dan budaya sepertinya Wali Nanggroe berada di menara gading dan minus fungsi", tutup Adli Abdullah. (riliase)
Post a Comment