BANDA
ACEH | Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh
(P3KA), Kurniawan S, S.H., LL.M melalui Pres Release yang dikirim ke wartawan,
Senin, (25/2/2019) menyampaikan, secara yuridis eksekutif tidak diberi wewenang
untuk "melakukan penilaian hukum" apakah suatu pemilihan suatu
KELEMBAGAAN ISTIMEWA di Aceh seperti MAA. Karena bertentangan dengan
prosedur/mekanisme pemilihan sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, meskipun Eksekutif diberi wewenang untuk MELANTIK.
Menurutnya,
Secara yuridis kewenangan melakukan "Penilaian Hukum" hanya dimiliki
oleh hakim pada Lembaga Peradilan (MA dan MK) untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus apakah suatu UU bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak. karena kewenangan
MK dalam Melakukan judicial Review atau dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
apakah suatu peraturan perundang-undangan yang hirarkinya berada di bawah UU
(PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kab/Kota) bertentangan atau tidak dengan
UU (kewenangan Uji Materil oleh MK), termasuk PTUN
"Kewenangan
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada Eksekutif hanya dalam konteks MELANTIK, tidak dalam
konteks "melakukan penilaian hukum". Sehingga, hemat saya seyogyanya
Gubernur melantik Ketua MAA terpilih dengan Keputusan (besluid/beschikking)", ujarnya
Menurut
beliau, jika ada Permasalahan "orang perorangan" atau suatu
"badan hukum perdata" yang memiliki legal standing dan merasa adanya
kerugian yang diderita sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Gubernur
(beschikking) tentang penetapan Ketua MAA terpilih sebagai Ketua MAA, selanjutnya pihak yang merasa dirugikan dimaksud dapat melakukan gugatan ke PTUN
dengan alasan/dasar gugatan (posita) bahwa, ada dugaan prosedur sebagaimana yang
diatur dalam peraturan perundang-undngan yang dilanggar dalam pemilihan Ketua
MAA.
Selanjutnya,
Hakim di PTUN lah yang akan melakukan "penilaian hukum" apakah
pemilihan Ketua MAA tersebut bertentangan dengan prosedur/mekanisme sebagaimana
yg diatur dalam peraturan perundang-undnagan (dalam hal ini Qanun Provinsi NAD
No 3 Tahun 2004 tentang SOTK MAA).
Prinsip
VOORMOUDEN VAN RECHMATIGHEID (setiap tindakan/aktifitas yang dilakukan/telah
dialukan/diambil wajib dipandang benar sebelum dinyatakan batal oleh badan
peradilan yg diberi wewenang) tetaplah harus tegak dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Menurut Kurniawan, Bilamana
Eksekutif melakukan peran MENILAI HUKUM dalam kasus ini justru yg terjadi malah
PEMERINTAHAN MENJADI GADUH seperti sebelumnya.Selaku akademisi hukum saya hanya
menyarankan agar Plt Gubernur mengambil pengalaman di masa Irwandi Yusuf.
"Semua
proses yang telah dilalui dalam pemilihan Ketua MAA, maka Asas VOORMOUDEN VAN
RECHMATIGHEID tersebut mengikat para penyelenggara pemerintahan tanpa
terkecuali termasuk eksekutif. Oleh karena itu Perlu mendapat perhatian bersama
bahwasanya peraturan dengan Jenis "PERATURAN GUBERNUR" merupakan
produk hukum yang bersifat NON LEGISLASI yaitu produk hukum yang dalam proses
pembentukannya oleh Gubernur tanpa dipersyaratkan memerlukan persetujuan
lembaga parlemen", katanya.
Dalam
teori dan ilmu perundang-undangan termasuk penjelasan Prof. Dr. Jimly Assidiqie
(bukunya yang berjudul Ilmu Peeundang-undangan) disebutkan bahwa PRODUK HUKUM
yang bersifat NON LEGISLASI (seperti Pergub, Perbup, Perwal, Permen, Peraturan
Badan/Komisi dan peraturan lainnya yang sejenis) merupakan PERATURAN
PELAKSANAAN (Delegated Legislation).
Sebagai
sebuah "Peraturan Pelaksanaan", maka Peraturan yang bersifat
"Non Legislasi" tersebut (termasuk Peraturan Gubernur Aceh dalam
kasus ini) hanya dapat dibentuk oleh pembentuknya bilamana mendapatkan/diberi
kewenangan secara atribusi (pemberian oleh peraturan perundang-undangan) oleh
Jenis peraturan induk yang hirarkinya lebih tinggi (dalam kasus ini Qanun
Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang SOTK MAA dan Qanun Aceh Nomor 18 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat). Tanpa adanya pemberian kewenangan dari Qanun
Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tersebut untuk diatur lebih lanjut mengenai
Tata Cara Pemilihan Ketua diatur dengan Peraturan Gubernur, maka secara hukum
Gubernur tidak dibenarkan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang
Tata Cara Pemilihan tersebut, kecuali ditentukan sebaliknya.
Hematnya, kalau memang di dalam Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Pembentukan, SOTK MAA maupun Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga
Adat belum mengatur tentang Mekanisme/Tata Cara Pemilihan sebagaimana yang
dikatakan oleh Eksekutif via Biro Hukum, seyogyanya yang perlu didorong adalah
dulakukannya Perubahan terhadap Qanun Aceh tersebut bukannya Eksekutif
berencana mengeluarkan Pergub untuk mengatur mengenai Prosedur/Tata Cara
mengenai pemilihan ketua MAA, kecuali
Qanun Aceh tersebut memberi atribusi dan mengamanatkan pengaturan tersebut
dalam bentuk Pergub.
Berdasarkan
amanat UU No. 11 Tahun 2006 JJo Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga
Adat bahwa lembaga istimewa Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga yang
bersifat otonom dan independen. Oleh karenanya secara yuridis, pengisian
jabatan beserta kepengurusan di dalam MAA ditentukan berdasarkan MUBES.
Gubernur secara hukum hanya diberi wewenang secara hukum untuk melakukan
"pengukuhan".
Bilamana
Eksekutif menilai bahwasanya Qanun Provinsi NAD Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja MAA maupun Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2008 tentang Lembaga Adat belum mengatur prosedur tekhnis mengenai tata
cara pemilihan dan pengisian jabatan di lembaga MAA, maka yang perlu didorong
oleh Eksekutif adalah berkoordinasi dengan Legislatif untuk dilakukannya
perubahan terhadap Qanun Provinsi NAD No 3 Tahun 2004 Aceh tersebut agar dapat
memasukkan pengaturan mengenai tata cara pemilihan dan pengisian kepengurusan
MAA bukannya mempersiapkan Peraturan Gubernur (Pergub).
Adapun
untuk sementara waktu menunggu Revisi Qanun Aceh tersebut rampung, bilamana
masa kepengurusan MAA serta MPA, dan
Baitul Mal Aceh saat ini sudah berakhir, maka ketiga lembaga istimewa tersebut
(khususnya MAA) sebagai lembaga istimewa yang bersifat otonom dan independen
soulsinya adalah dilakukannya MUSLUB
untuk memilih dan menunjuk seseorang sebagai Pelaksana Tugas, bukannya
justru EKSEKUTIF menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) MAA termasuk Plt MPA, dan Plt
Baitul Mal.
Keberadaan
MUBES dan MUSLUB merupakan forum tertinggi untuk mengambil keputusan di
internal MAA, dan MPA, dan Secara
hukum, Kewenangan penuh EKSEKUTIF di MAA, dan MPA adalah hanya dalam hal
pengangkatan dan pemberhentian KEPALA SEKRETARIAT, sementara kewenangan
EKSEKUTIF pada Kepengurusan Komisioner MAA dan MPA hanya melakukan PENGUKUHAN.
Menurutnya, penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) MAA, dan MPA oleh EKSEKUTIF (bukan berdasarkan
Mubes/Muslub) secara hukum merupakan wujud intervensi dan menyebabkan hilangnya
kemandiran (otonom) dan independensi MAA sebagai lembaga yang bersifat otonom
dan mandiri sebagaimana yang telah dijamin oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh Jo Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Secara
filosofis dan yuridis, keberadaan lembaga istimewa di Aceh seperti MAA, MPU,
dan MPA termasuk BAITUL MAL sebagai bagian dari manifestasi kekhususan Aceh
sebagaimana yang diatur dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya
dicabut dengan berlakunya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada
hakikatnya merupakan bersifat Otonom dan Independen.
Maka Oleh
karenanya, mekanisme pengisian jabatan dan kepengurusan pada lembaga istimewa
sebagaimana tersebut di atas (termasuk MAA) berbeda dengan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang secara langsung berada dalam sub koordinasi
Eksekutif.
Pengisian
jabatan pada SKPD secara yuridis kewenangan pengangkatan dan pemberhentian sepenuhnya berada pada Eksekutif, termasuk dalam melakukan
pengukuhan/pelantikan. Namun tidak demikian halnya dalam hal pengisian jabatan
dan kepengurusan pada lembaga istimewa yang ada di Aceh seperti MAA, MPA, MPU,
dan lainnya
Post a Comment